KBB, ETERNITYNEWS.co.id – Penyaluran Bantuan Pangan Non Tunai ( BPNT) yang saat ini sedang di lakukan, di beberapa daerah menimbulkan pro dan kontra. Hal itu di akibatkan dari teknis penyalurannya. Di mana pada awalnya Keluarga Penerima Manfaat (KPM) mendapat bantuan melalui kementrian sosial berupa bahan pangan.
Namun adanya perubahan lembaga penyalur. Yang awalnya di lakukan oleh pihak BNI 46 yang bekerjasama dengan e-warung, sebagai penyedia bahan sembako.
Namun kini penyaluran bantuan itu di percayakan kepada PT Pos Indonesia dengan penyaluran berupa uang tunai. Walaupun tujuannya tetap sama, yaitu untuk di belikan bahan pangan. Tetapi berdasarkan pantauan di lapangan, hal itu menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Mereka beranggapan jika bantuan tunai melalui pos penyalur, dapat di gunakan sekehendak hatinya.
Padahal rencana pemerintah memberikan bantuan itu bertujuan meningkatkan gizi masyarakat. Sehingga harus di belikan sembako yang memenuhi karbohidrat, hewani, protein nabati, vitamin dan mineral.
Dengan di berikannya BPTN secara tunai, mereka beranggapan jika bantuan itu tak ubahnya, Bantuan Langsung Tunai (BLT). Ketika untuk mencairkan dana bantuan melalui pos penyalur harus menandatangani Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM). Di mana dalam salah satu poinnya menyebutkan jika bantuan itu harus di belikan sembako. Bahkan jika hal itu di langgar, maka bersedia untuk di coret dari daftar penerima BPNT berikutnya.
Dalam penggunaannya, KPM bisa membelanjakan di mana saja, baik di e-warung, pasar atau kios penyedia sembako. walaupun merujuk pada Surat Keputusan Dirjen Fakir Miskin Nomor : 11/6/SK/HK.02.02/5/2001 tentang Petunjuk teknis penyaluran Bantuan Program sembako melalui pos penyalur tahun 2021. Pada huruf “G” di sebutkan jika untuk pembelian sembako di utamakan di e-warung. Dan jika di lakukan di komunitas pun harus dekan dengan lokasi e-warung. Jika memang tidak ada e-warung maka di bolehkan di belanjakan di pasar atau kios.
Polemik di tengah masyarakat khususnya di kalangan KPM pun bermunculan, bahkan mereka beranggapan adanya pemaksaan untuk di belikan sembako. Hal itu di karenakan kurangnya sosialisasi yang di lakukan pihak pemangku kepentingan. Padahal dari tingkat provinsi hingga desa, ada yang di sebut team kordinasi (Tikor) yang bekerjasama dengan elemen lainnya. Seharusnya merekalah yang memberikan sosialisasi dan menjelaskan kepada masyarakat, akan maksud dan tujuan KPM mendapatkan BPNT. Sehingga tidak terjadi gagal paham di tengah masyarakat.
Akibatnya selain bermunculan opini, bahkan pihak pemerintah desa pun di buat pusing, karena terputusnya mata rantai kordinasi. Seperti di katakan Kepala desa Cililin, Tedi Kusnaedi, yang juga ketua APDESI kecamatan Cililin, beberapa waktu lalu. “Dengan pola pemberian BPNT secara tunai, membuat kami pusing, pa! Kami berharaf lebih baik. Seperti yang sudah berjalan beberapa waktu lalu saja, yaitu di berikan barang, bukan uang,” katanya.
Hal yang sama juga di katakan warga desa rancapanggung, “saya pusing pa. Sudah ngantri ngambil uang, harus di belikan sembako. Padahal lebih baik barangnya saja seperti dulu” katanya. Namun perlu di pahami, yang sipatnya bantuan dari pemerintah, harus jelas pertanggungjawabannya secara administrasi.
(Lasmana &Dodi)